Hubungan Yang Sukses

Seorang anak kecil dengan mudahnya mematahkan satu batang lidi, namun orang yang berbadan kekar akan sangat kesulitan untuk mematahkan seikat sapu lidi. Itulah yang dinamakan sebagai sebuah sinergi positif, ketika kita berdiri sendiri kita kelihatan rapuh namun kita akan menjadi kuat jika kita memiliki rekan yang menjadi ‘lili-lidi yang lain’ yang membuat kita menjadi sebuah ‘sapu lidi’. Begitulah kehidupan kita, kita membutuhkan orang lain untuk bisa mencapai kesuksesan dan kita membutuhkan sebuah hubungan dengan mereka.

Orang lain yang menjadi partner itu bisa sahabat Anda, kekasih Anda, suami/istri Anda, atau relasi kerja yang memiliki kesamaan visi dengan Anda.Dari mereka Anda bisa mendapatkan peran yang berbeda, entah sebagai ‘tempat curhat’ atau second opinion, atau dukungan moral dan seterusnya. Semua itu kita butuhkan, supaya kita tidak rapuh seperti sebatang sapu lidi.

Sesama kita adalah sumber daya terbesar dalam kehidupan kita, atas alasan itu, hubungan adalah salah satu prinsip dasar dalam kehidupan manusia. Pernahkah Anda renungkan bahwa kita dilahirkan dan mendapatkan makanan, pakaian, uang oleh orang tua kita, dan juga, kita dibuat tertawa, menangis, dihibur, disembuhkan, dan pasti suatu saat kita akan dimakamkan oleh sesama kita. Jadi bisa dipastikan kita membutuhkan sesama kita dalam kehidupan kita sejak lahir hingga meninggal dunia. Karena kita membutuhkan mereka semua, pernahkah kita pikirkan bagaimana agar mereka (lebih) menyukai anda?

Menurut Nicholas Boothman dalam bukunya, ‘Bagaimana agar orang menyukai Anda’ menyatakan bahwa rahasia sukses tidaklah sulit ditemukan, karena semakin baik Anda menjalin hubungan dengan sesama, semakin baik pulalah kualitas kehidupan Anda.

Jika hubungan kita dengan sesama terganggu, baikkah kualitas kehidupan kita? Lancarkah perjalanan menuju visi kita?

Salah satu kesalahan fatal yang dilakukan oleh seseorang dalam berhubungan adalah mengkritik partner/pasangannya. Banyak orang yang saya kenal bilang bahwa mengkritik itu harus membangun. Namun, menurut saya, dalam hal hubungan, kritik itu menghancurkan harga diri dan kebanggaan seseorang, namun pujian akan membangun mereka. Setiap orang cenderung memiliki ‘mekanisme pertahanan diri terhadap serangan’ orang lain. Ketika dikritik, mereka cenderung untuk membantah, berdalih, membela diri, atau menyerang balik. Cobalah Anda renungkan ketika seseorang mengkritik Anda. Apa yang Anda rasakan? Apakah dalam hati Anda membela diri sendiri? Apakah mencari ‘kambing hitam’? Atau Anda menerima dengan lapang dada?

Kenapa kesalahan tersebut selalu berulang? Karena kita (termasuk saya) cenderung mengharapkan orang lain untuk berubah. Dengan ketidaksabaran kita, kita menuntut mereka memperbaiki diri. Mudahkah itu? Bukankah lebih mudah jika yang memperbaiki diri terlebih dahulu adalah kita? Cobalah Anda renungkan bagaimana sikap Anda dengan orang terdekat Anda, apakah orang tua, kekasih, suami/istri, sahabat dan sebagainya. Apa yang Anda pikirkan ketika yang mereka lakukan tidak sesuai harapan Anda?

Apa yang kita perlu lakukan? Kita perlu belajar untuk memaafkan dan mengenal mereka dengan lebih baik. Memaafkan memang mudah jika keluar dari mulut, namun mudahkah jika maaf itu Anda keluarkan dari hati Anda? Itu tidak alami, butuh belajar, melakukan, melakukan, dan melakukan. Kita butuh berlatih untuk itu. Apakah Anda bisa menguasai matematika atau bersepeda secara alami? Anda butuh belajar dan berlatih, dan mungkin bisa mengajarkan kepada orang lain setelah Anda menguasainya. Memaafkan bisa juga Anda ajarkan orang lain, bukan dengan kata-kata, namun menginspirasi mereka dengan tindakan, karena orang lebih mudah menerima ‘pelajaran’ dengan perbuatan atau visualisasi.

Bagaimana dengan ‘mengenal mereka lebih jauh’? Pernahkah Anda mendengar bahasa kasih?

Setiap orang akan merasa dicintai jika mendapatkan sesuatu yang sama dengan bahasa kasih yang mereka miliki. Yang saya tahu, bahasa kasih itu bisa berupa sentuhan fisik, menerima hadiah, menerima pelayanan, mendapatkan saat-saat berkesan, atau pujian.

Berikut ini, Lisa (nama fiktif) memiliki pengalaman tentang bahasa kasih. Lisa selalu menyiapkan hadiah yang istimewa untuk pasangannya ketika berulang tahun, namun setiap tahunnya, pemberian hadiah itu seolah-olah bukan hal yang diinginkan oleh pasangannya. Apa yang terjadi? Ternyata bahasa kasih Lisa adalah menerima hadiah, dan bahasa kasih pasangannya adalah sentuhan fisik. Jadi, ibarat orang berdagang, ‘tawar menawar harga’ tersebut menjadi tidak pernah selesai, karena masing-masing pihak hanya menuntut. Bukankah itu hal yang biasa kita hadapi? Namun kenapa masalah itu sering kita rasakan tidak memiliki solusi? Bukankah sebenarnya kita juga sudah tahu bahwa dengan memahami pasangan/partner kita (mudah untuk diucapkan, namun kadangkala ego kita sulit untuk menerimanya), kepuasan masing-masing pihak bisa didapatkan.

Demikianlah kita bersikap, kita cenderung untuk melakukan sesuatu dari sudut pandang kita. Susahkah itu? Relatif, karena semua membutuhkan proses. Namun sekali lagi, sulit bukan berarti tidak bisa. Semua itu hal bisa dipelajari jika Anda mau. Anda masih ingat bagaimana Anda bisa berjalan? Bukankah kita bisa karena’dipaksa’ berjalan oleh orang tua Anda (juga ‘dipaksa oleh keadaan’)?. Jadi paksalah diri Anda (termasuk saya juga sedang belajar memaksa diri saya sendiri) untuk meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Anda pasti bisa!!!

Akhir kata, investasikanlah waktu untuk memenuhi TANGKI CINTA partner Anda, dan dapatkan hubungan yang mesra dan harmonis. Pastilah Anda lebih mudah mengarungi bahtera kehidupan Anda, dan jalan menuju kesuksesan menjadi lebih lancar. Rendahkan hati dan meredam ego, demikianlah kunci sukses dalam berhubungan.

Jadi, mana yang Anda pilih, menjadi sebatang lidi atau sebatang sapu lidi?

‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’

Dedhy Sulistiawan, dipublikasikan di Tabloid Keluarga (2008)